Emotional Permanence & Fear of Abandonment
Object permanence adalah kemampuan kognitif yang kita pelajari saat kita berumur dua sampai tiga tahun. Sebuah pemahaman bahwa objek terus ada bahkan ketika mereka tidak dapat dilihat, disentuh, atau dirasakan dengan cara tertentu. Makanya kenapa ada anak yang suka permainan cilukba, karena pemahaman tentang object permanence-nya belum sempurna, sehingga ketika kita menyembunyikan wajah kita, anak akan berpikir kita menghilang. Ini yang akan kita bahas di Emotional Permanence.
Sejalan dengan konsep object permanence, emotional permanence adalah kemampuan mengetahui pasangan kita mencintai kita, bahkan ketika mereka tidak ada atau tidak secara aktif menunjukkan kasih sayangnya. Sedangkan pada orang yang tumbuh di lingkungan yang invalidating, inconsistent, dan bahkan abusive kemampuan ini terganggu sehingga sering menimbulkan fear of abandonment (ketakutan akan pengabaian/ditinggalkan).
Fear of abandonment itu sering bermanifestasi menjadi insecurity, intrusive thought, perasaan hampa, citra diri yang tidak stabil, clinginess, neediness, perubahaan mood yang ekstrim, dan konflik dalam hubungan. Di sisi lain, seseorang mungkin akan coping dari fear of abandonment tersebut dengan cara cutting off completely dan numbing (mati rasa).
Sebenarnya, kalau ditarik ke belakang, fear of abandonment ini merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Karena ketika kita tumbuh di lingkungan yang tidak aman (invalidating/inconsistent/abusive) kita sebagai anak kecil yang belum memiliki kemampuan untuk survive sendiri tentunya akan ketakutan kalau orang tua/primary caregiver kita tidak mampu memberikan perasaan aman/nyaman.
Jika orang tua kita mampu menanggapi panggilan kita untuk memberi makan dan memberi perasaan nyaman & aman sebagian besar waktu, kita akan menginternalisasi pesan bahwa dunia adalah tempat yang ramah; ketika kita membutuhkan, seseorang akan datang dan membantu kita. Kita juga akan belajar menenangkan diri pada saat tertekan, dan ini membentuk ketahanan kita sebagai orang dewasa.
Sebaliknya, jika pesan yang diberikan kepada kita sebagai bayi adalah bahwa dunia ini tidak aman dan bahwa orang tidak dapat diandalkan, itu akan mempengaruhi kemampuan kita untuk menoleransi ketidakpastian, kekecewaan, dan pasang surut hubungan.
Terus gimana nih, kalau sudah terlanjur tumbuh dalam lingkungan yang demikian? Jawabannya adalah dengan belajar mengintegrasi nilai paradoks bahwa tidak ada orang yang benar-benar buruk atau jahat, dan tidak ada orang yang benar-benar baik.
Fear of abandonment seringnya over powering karena itu me-recall kembali trauma mendalam yang kita bawa sejak kita masih kecil, yang lahir ke dunia ini sebagai makhluk tak berdaya, sangat bergantung pada orang-orang di sekitar kita.
Tetapi kita harus mengakui bahwa ketakutan kita tidak lagi mencerminkan realitas kita saat ini. Meskipun tidak pernah ada kepastian dan keamanan yang mutlak dalam hidup, kita sudah dewasa sekarang dan kita memiliki pilihan yang berbeda.
Sebagai orang dewasa, kita tidak bisa lagi “di-abandoned (ditinggalkan)”—jika suatu hubungan berakhir, itu adalah konsekuensi natural mungkin dari ketidakcocokan nilai, kebutuhan, dan jalan hidup dua individu yang berbeda.
Kita tidak bisa lagi “di-rejected (ditolak)”—karena nilai keberadaan kita tidak tergantung pada pendapat orang lain. Kita tidak bisa lagi terjebak–karena kita bisa saja mengatakan tidak, setting boundaries, dan leave.
Jika fear of abandonment sudah sangat menggangu keseharian atau kualitas hubunganmu, mungkin ini sudah saatnya kamu pergi terapi. There’s no shame on that.
Disadur dari artikel:
https://www.psychologytoday.com/us/blog/living-emotional-intensity/201808/are-your-loved-ones-out-sight-out-mind
Featured Image by Freepik
Add a Comment