Gagal Dapat Nilai Seratus

Pernah ada suatu kejadian yang membuat gue inget terus akan hal itu dan gue jadiin pegangan sampe sekarang. Itu dikala gue gagal dapet nilai seratus di ujian kenaikan kelas pada saat sekolah dasar, karena satu soal yang salah. Entah pelajaran fiqih entah apa gitu, lupa. Iya, gue bersekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah.

Pertanyaannya masih gue inget sampai sekarang: Mana yang lebih Allah sukai?

Jawabannya ada empat kan, A, B, C, D. Gue lupa isi A, B, C, D-nya apa. Tapi yang gue inget adalah gue memilih jawaban: Berdiam diri di Masjid untuk terus beribadah.

Salah.

Karena satu soal itu, gue gagal dapet nilai seratus. Lalu, karena bingung – juga protes – gue mendatangi guru yang menyalahkan jawaban gue itu. “Bu, kok jawaban saya yang ini salah?”

“Ya, emang salah kan?”

“Kenapa salah, Bu? Kan Allah suka kalau kita terus beribadah kepada Dia?”

Guru gue tersenyum. “Allah gak suka.”

Gue bingung dong. Karena setahu gue, kita diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. “Kenapa gitu?”

“Randi, kamu murid yang cerdas. Tapi, jawaban kamu yang ini salah. Mau tahu kenapa?”

Gue diam, memberikan tatapan penuh harap.

“Karena kalau cuma beribadah pun, Malaikat udah beribadah pada Allah jauh sebelum kita diciptakan. Jadi, untuk apa kita diciptakan kalau cuma untuk beribadah doang?”

Soal itu juga gue udah tahu, tapi gue bingung. Lalu, untuk apa?

“Manusia diciptakan untuk menjadi khilafah di muka bumi ini.”

Khilafah? Soal itu juga gue udah tahu, udah pernah mendapat pelajarannya.

“Khilafah itu gak sesempit menegakkan agama Allah di bumi ini. Khilafah artinya mengelola bumi beserta isinya. Menjadi rahmat bagi bumi dan semesta. Berdagang, bekerja, bertetangga, bernegara, berumah tangga, mengasuh anak, dan sebagainya. Itulah khilafah. Jadi, jawaban yang benar itu adalah ini.” Guru gue menunjuk satu jawaban dimana jawaban itu adalah Berdagang setelah beribadah.

Gue masih bingung.

“Kamu pasti tahu, Nabi Muhammad pekerjaannya apa?

“Berdagang.”

“Nah, apa Nabi Muhammad berdiam diri di Masjid selalu?”

Gue gak menjawab, karena gak tahu.

“Jawabannya enggak. Nabi berdagang, mengurus umat, istri-istrinya, dan sebagainya. Itulah khilafah. Balik lagi pada penjelasan awal ibu tadi. Kalau cuma beribadah, Malaikat sudah melakukannya jauh sebelum kita diciptakan. Kita punya tujuan lain diciptakan dan diturunkan ke bumi ini oleh Allah. Dan satu hal yang harus kamu tahu, Randi. Beribadah itu enggak sesempit sholat, zakat, dan sebagainya. Berdagang, bertetangga, mengurus keluarga pun merupakan bagian dari ibadah kita pada Allah. Ibadah itu seperti itu. Mulai sekarang, coba dimaknai kalau apa-apa yang kamu lakukan itu adalah bagian dari ibadah kamu kepada Allah ya. Karena kita ini khilafah yang diberi tugas oleh Allah untuk mengurus bumi beserta isinya. Karena itu ada Hablumminallah dan ada Hablumminannas. Kamu mengerti, Randi?”

Gue mulai mengerti sedikit.

Guru gue mengusap kepala gue, tersenyum. “Semoga kamu menjadi anak sholeh.”

Guru gue berlalu pergi, tapi setelahnya, gue terus merenungkannya. Hingga sekarang, jadi salah satu pegangan gue dalam menjalani hidup. 

FAITH

Bismillah. Tulisan ini gak bermaksud menyinggung siapapun.

Faith. Menurut Google Translate: Keyakinan, Iman, dan sebagainya yang sejenis. Ada sesuatu yang menggelitik gue untuk menuliskannya, sesuatu merasuk masuk ke dalam kepala gue dan gue rasa gue harus menuliskannya. The big question in my head is: Bagaimana caranya lu bisa percaya pada sesuatu yang bahkan gak bisa dirasakan oleh pancaindera?

Bukankah begitu?

Bisa dilihat, diraba, diterawang? Eh, enggak. Maksudnya, bisa dilihat? Bisa digenggam? Bisa dicium, Bisa didengar? Bisa dirasakan oleh lidah?
Bisa dirasakan oleh semua itu? Lalu, dimana kita harus meletakkan keberadaan iman?

Gue baru aja sadar setelah perjalanan lima bulan mencoba kembali (lagi, untuk yang kesekian kali) ke jalan Allah, Tuhan gue, kalau boleh menambahkan satu buah indera lagi dalam tubuh gue ini, gue ingin menambahkan ‘hati’ sebagai satu buah indera lainnya. Dan iman, hanya bisa dirasakan oleh indera ke-enam tersebut.

Bukan, bukan. Ini bukan tentang supranatural atau apapun. Tapi, cuma hati yang merasakan. Terdengar aneh? Tapi, pernah gak ketika kalian melakukan sesuatu, yang merasakan bukan pancaindera kalian tapi ada sesuatu yang hangat di dada ketika kalian tenang, atau ketika kalian sedang gelisah, hati kalian yang kalut. Ya, itu maksud saya, teh.

Mungkin ini ada penjelasan ilmiahnya yang gue gak tau, tentang hati yang merasakan ini. Gue hanya ingin menuliskannya dari sudut pandang gue sebagai orang awam.

Iman itu suatu hal yang gak bisa dirasakan oleh pancaindera. Tapi, kita hanya disuruh percaya.

But, do you believe? Pertanyaannya kan itu. Percaya atau enggak?

Percaya akan apa? Di dalam kepercayaan gue, kita gak bisa melihat Allah. Segala sesuatu di dalam imajinasi kalian tentang Allah, percayalah Allah tidak seperti itu. That’s why we, muslim, call it ‘Zat Yang Maha Esa’.

Lalu, tentang surga dan neraka. Kita emang pernah liat dua tempat itu barang sekali dalam hidup kita? Terus, kita percaya? Ada pancaindera yang pernah sampe sana? Atau sesuatu yang logis yang membuktikan tentang kedua tempat itu? Ada sesuatu atau seseorang yang pernah sampe sana – selain Rasulullah?

Tapi, kita disuruh percaya. Have a faith.

Tapi, ada sesuatu yang membuat gue yakin. Yakin banget. Like… this is the way. Apa yang sedang gue jalani ini enggak salah. Gue akhir-akhir ini sering banget dengerin ceramahnya Ustad Hanan Attaki. Beliau sering banget ceramah dengan model story telling, menceritakan kisah-kisah para Nabi, kisah-kisah Rasulullah. Dan hadits itu diriwayatkan gak sembarangan, bukan? Itu yang gue suka.

Mereka, para terdahulu, gak mengarang-ngarang, gak membuat-buat, gak dilakukan demi kepentingan. Tapi, merujuk pada kebenaran. Makanya hadits sendiri ada empat tingkatan. Dari yang paling benar adanya, sampai yang diragukan kebenarannya. Itu yang gue suka dari hadits. Kalau mau suka-suka, buat aja hadits yang menguntungkan, seperti: boleh makan babi dan minum-minuman keras, misal. Kan keduanya enak (kata orang). Tapi, enggak, menurut kebenaran Islam, kedua hal tersebut, gak boleh.

Kita dilarang, maka kita gak melakukannya. Balik lagi. Have a faith. Mau gak?

Ada sebuah kisah, entah hadits ini dalam tingkatan mana, karena Ustad Hanan Attaki gak menjelaskannya. Kisah itu, dimana Rasulullah pernah mengharamkan madu karena Aisyah cemburu Rasulullah suka makan madu dari istrinya yang lain. Kita semua tahu, bagaimana sayangnya Rasulullah pada Aisyah, bukan?

Rasulullah keliru, lalu turun ayat dimana madu itu gak haram. Kemudian Rasulullah dateng ke Hafshah, istrinya yang muda yang lain selain Aisyah. Mengatakan kekeliruannya. Ya… bayangin aja, orang yang dipuji-puji paling-paling dah, mengakui kekeliruannya. Lagi-lagi, merujuk pada kebenaran (menurut versi Islam).

Ada kisah lain, dimana pada saat perang Badar, Rasulullah menunjuk suatu tempat sebagai camp. Ditanya oleh para sahabat, penunjukan lokasi itu berdasarkan wahyu atau pendapat pribadi? Kata Rasul itu pendapat pribadi. Maka para sahabat menunjukkan tempat yang lebih strategis dan Rasulullah menerimanya.

Dan gue merasakannya dengan hati.

Bahwa Beliau orang yang mulia akhlaknya, gak diktator, gak egois, tapi hanya merujuk pada kebenaran. Dan kalau mendengar kisah Rasulullah tuh, hati jadi adem.

For Your Information, menurut buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh karangan Michael H. Hart (2016) dan buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia tulisan Michael H. Hart (2017). Rasulullah, menempati urutan nomor satu sebagai manusia paling berpengaruh di dunia. *liat di Kumparan

Ada kisah lain. Perang yang amat sangat terkenal, perang Badar. 313:1000. Udah dari jumlah aja kalah, peralatan tempur kalah jauh, pengalaman perang juga. Logika darimana ini? Ada orang yang mau berperang kalau dalam kondisi gak masuk akal begini? Tapi… menang dong Umat Muslim. Yang mereka pegang saat berperang adalah Allah, Rasulullah dan hati yang percaya.

Banyak diantara kita yang ketika dikasih ujian, langsung merasa gak kuat. Padahal sudah dijelaskan sama para Ustad dimana-mana, kita beriman maka kita diuji. Dan di dalam Al-Qur’an pun sudah dijelaskan:

“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” – QS. Al-Baqarah ayat 45.

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” – QS. Al-Baqarah ayat 153.

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” QS. Al-Insyirah ayat 5.

Percaya? Mau percaya atau enggak ya itu pilihan. Karena balik lagi. Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya.

Kalau gak kuat akan ujian ya kita tergelincir, jauh dari Tuhan kita, kalau kuat ya akan ada sesuatu yang menanti di depan sana. Kalau kata Ustad-Ustad. Akan ada kejutan pada orang-orang yang sabar.

Tapi, mau sabar sampai kapan? Balik lagi. Milikilah faith.

“Non-sense.” Ya gapapa juga kalau gak percaya. Hidup itu kan pilihan.

Pada akhirnya, Iman hanya bisa dirasakan oleh hati yang percaya dan yakin. Semoga kita semua selalu berada dalam lingkaran orang-orang yang percaya. Karena ketika percaya, yang kita dapat adalah ketenangan hati menjalani hidup ini. Karena gue udah merasakannya, ya dengan hati, sesuatu yang gue sebut indera ke-enam – meskipun masih tertatih juga menjalaninya hehe.

Kalian gak bisa mendapatkan iman kalau kalian tidak bisa menempatkan diri pada hati yang percaya.

Intinya ya: Faith, Believe.
Atau dengan kata lain: Yakin.

Emotional Permanence & Fear of Abandonment

Emotional Permanence & Fear of Abandonment

Object permanence adalah kemampuan kognitif yang kita pelajari saat kita berumur dua sampai tiga tahun. Sebuah pemahaman bahwa objek terus ada bahkan ketika mereka tidak dapat dilihat, disentuh, atau dirasakan dengan cara tertentu. Makanya kenapa ada anak yang suka permainan cilukba, karena pemahaman tentang object permanence-nya belum sempurna, sehingga ketika kita menyembunyikan wajah kita, anak akan berpikir kita menghilang. Ini yang akan kita bahas di Emotional Permanence.

Sejalan dengan konsep object permanence, emotional permanence adalah kemampuan mengetahui pasangan kita mencintai kita, bahkan ketika mereka tidak ada atau tidak secara aktif menunjukkan kasih sayangnya. Sedangkan pada orang yang tumbuh di lingkungan yang invalidating, inconsistent, dan bahkan abusive kemampuan ini terganggu sehingga sering menimbulkan fear of abandonment (ketakutan akan pengabaian/ditinggalkan).

Fear of abandonment itu sering bermanifestasi menjadi insecurity, intrusive thought, perasaan hampa, citra diri yang tidak stabil, clinginess, neediness, perubahaan mood yang ekstrim, dan konflik dalam hubungan. Di sisi lain, seseorang mungkin akan coping dari fear of abandonment tersebut dengan cara cutting off completely dan numbing (mati rasa).

Sebenarnya, kalau ditarik ke belakang, fear of abandonment ini merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Karena ketika kita tumbuh di lingkungan yang tidak aman (invalidating/inconsistent/abusive) kita sebagai anak kecil yang belum memiliki kemampuan untuk survive sendiri tentunya akan ketakutan kalau orang tua/primary caregiver kita tidak mampu memberikan perasaan aman/nyaman.

Jika orang tua kita mampu menanggapi panggilan kita untuk memberi makan dan memberi perasaan nyaman & aman sebagian besar waktu, kita akan menginternalisasi pesan bahwa dunia adalah tempat yang ramah; ketika kita membutuhkan, seseorang akan datang dan membantu kita. Kita juga akan belajar menenangkan diri pada saat tertekan, dan ini membentuk ketahanan kita sebagai orang dewasa.

Sebaliknya, jika pesan yang diberikan kepada kita sebagai bayi adalah bahwa dunia ini tidak aman dan bahwa orang tidak dapat diandalkan, itu akan mempengaruhi kemampuan kita untuk menoleransi ketidakpastian, kekecewaan, dan pasang surut hubungan.

Terus gimana nih, kalau sudah terlanjur tumbuh dalam lingkungan yang demikian? Jawabannya adalah dengan belajar mengintegrasi nilai paradoks bahwa tidak ada orang yang benar-benar buruk atau jahat, dan tidak ada orang yang benar-benar baik.

Fear of abandonment seringnya over powering karena itu me-recall kembali trauma mendalam yang kita bawa sejak kita masih kecil, yang lahir ke dunia ini sebagai makhluk tak berdaya, sangat bergantung pada orang-orang di sekitar kita.

Tetapi kita harus mengakui bahwa ketakutan kita tidak lagi mencerminkan realitas kita saat ini. Meskipun tidak pernah ada kepastian dan keamanan yang mutlak dalam hidup, kita sudah dewasa sekarang dan kita memiliki pilihan yang berbeda.

Sebagai orang dewasa, kita tidak bisa lagi “di-abandoned (ditinggalkan)”—jika suatu hubungan berakhir, itu adalah konsekuensi natural mungkin dari ketidakcocokan nilai, kebutuhan, dan jalan hidup dua individu yang berbeda.

Kita tidak bisa lagi “di-rejected (ditolak)”—karena nilai keberadaan kita tidak tergantung pada pendapat orang lain. Kita tidak bisa lagi terjebak–karena kita bisa saja mengatakan tidak, setting boundaries, dan leave.

Jika fear of abandonment sudah sangat menggangu keseharian atau kualitas hubunganmu, mungkin ini sudah saatnya kamu pergi terapi. There’s no shame on that.

 

Disadur dari artikel:

https://www.psychologytoday.com/us/blog/living-emotional-intensity/201808/are-your-loved-ones-out-sight-out-mind

Featured Image by Freepik